مكانة
التوحيد
Oleh
: Ridwan Hamidi, Lc.
Sesungguhnya
kaidah Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar;
satu-satunya yang diterima dan diridloi Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa untuk
hamba-hamba Nya, yang merupakan satu-satunya jalan menuju kepada Nya, kunci
kebahagiaan dan jalan hidayah, tanda kesuksesan dan pemelihara dari berbagai
perselisihan, sumber semua kebaikan dan nikmat, kewajiban pertama bagi seluruh
hamba, serta kabar gembira yang dibawa oleh para rasul dan para nabi adalah IBADAH
HANYA KEPADA ALLAH Subhaanahu Wa Ta'aalaa SEMATA TIDAK MENYEKUTUKANNYA,
bertauhid dalam semua keinginannya terhadap Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa,
bertauhid dalam urusan penciptaan, perintah-Nya dan seluruh asma (nama-nama)
dan sifat-sifat Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS An Nahl: 36)
وما أرسلنا من قبلك من
رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون
Dan
Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku”. (QS Al Anbiyaa’ : 25)
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ
لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ
“Padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS At Taubah: 31)
فَاعْبُدِ اللَّهَ
مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ(2)أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS Az Zumar: 2-3)
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”(QS Al Bayyinah: 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan: “Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan
mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah
kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa serta taat kepada Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah,
musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada
selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Orang yang mentadabburi hal ini dengan
sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun
di luar dirinya.” (Majmu’ Fatawa 15/25)
Karena kenyataannya demikian dan
pengaruhnya-pengaruhnya yang terpuji ini, maka syetan adalah makhluk yang
paling cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa
bekerja untuk melemahkan dan membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini
siang malam dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil.
Jika syetan tidak berhasil
(menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, syetan tidak akan putus asa untuk
menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang
diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan
ke dalam berbagai bid’ah dan khurafat. (Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah hal 293, lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin
Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayyaan, hal 4)
Setiap dakwah Islam yang baru muncul
tidak dibangun di atas tauhid yang murni kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
dan tidak menempuh jalan yang telah dilalui oleh para salaful ummah yang
shalih, maka akan tersesat hina dan gagal, meski dikira berhasil, tidak sabar
ketika berhadapan dengan musuh, tidak kokoh dalam al haqq dan tidak kuat
berhadapan (dengan berbagai rintangan).
Kita saksikan banyak contoh-contoh
dakwah yang dicatat dalam sejarah berbicara kenyataan yang menyedihkan ini dan
akhir yang buruk. Dakwah-dakwah yang berlangsung bertahun-tahun, yang telah
mengorbankan nyawa dan harta kemudian berakhir dengan kebinasaan.
Namun seorang mu’min yang yakin
dengan janji Allah yang pasti benar, tidak akan putus asa dan menjadi kendor,
tidak akan gentar menghadapi berbagai cobaan dan tidak akan menerima jika
sekian banyak percobaan-percobaan itu berlangsung silih berganti tanpa ada
manfaat yang diambil atau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
(Sebagaimana hadits dari sahabat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari (no 6133) dan Imam Muslim (no 2998) serta Imam Ahmad dalam Musnadnya
(2/379)
Sudah ada teladan dan contoh yang
paling bagus pada diri Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:
لقد كان لكم في رسول
الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat. (QS Al
Ahzaab: 21)
Inilah manhaj pertama dari Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam berdakwah kepada tauhid, memulai dengan
tauhid dan mendahulukan tauhid dan semua urusan yang dianggap penting.
(Diringkas dari Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin
Muhammad Ali Furayyaan, hal 2-6)
فضل التوحيد
(KEUTAMAAN TAUHID)
Berbicara tentang keutamaan tauhid
sebenarnya terkandung unsur kewajiban untuk bertauhid. Sebab “tidak berarti
bahwa adanya keutamaan pada sesuatu berarti bahwa sesuatu itu tidak wajib,
karena keutamaan merupakan hasil atau buah yang ditimbulkan. Seperti sholat
jama’ah yang telah jelas keutamaannya dalam hadits Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam:
صلاة
الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة
“Shalat
jama’ah lebih utama daripada shalat sendiri, dua puluh tujuh derajat.” (HR Imam
Bukhari [Kitab Adzan, bab Keutamaan Shalat Jama’ah] dan Imam Muslim (Kitab Al
Masajid [masjid-masjid], Bab Keutamaan Shalat Jam’ah) Keutamaan yang ada pada
shalat jama’ah ini tidak berarti bahwa shalat jama’ah ini tidak wajib.
Jadi tidak selalu berarti bahwa
ketika kita berbicara tentang keutamaan tauhid berarti tauhid itu tidak wajib,
sebab tauhid adalah kewajiban yang paling pertama. Tidak mungkin suatu amal
akan diterima tanpa tauhid. Tidak mungkin seorang hamba bertaqarrub kepada
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa tanpa tauhid. Sekaligus bahwa tauhid juga memiliki
keutamaan.
Faidah tauhid sangat banyak,
diantaranya:
1. Tauhid
adalah penopang utama yang memberikan semangat dalam melakukan ketaatan kepada
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa; sebab orang yang bertauhid akan beramal untuk dan
karena Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, baik ketika ia sendiri maupun ketika
bersama orang banyak. Sedangkan orang yang tidak bertauhid, misalnya seperti
orang yang riya`, ia hanya akan bersedekah, shalat dan berdzikir kepada Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa kalau ada orang yang melihatnya. Oleh karena itu
sebagian ulama salaf mengatakan: Sesungguhnya saya sangat ingin bertaqarrub
kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dengan melakukan ketaatan yang hanya
diketahui oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.
2. Orang-orang
yang bertauhid akan mendapatkan ketenangan dan petunjuk, sebagaimana firman
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa:
الذين
ءامنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al An’aam ayat 82)
Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang memurnikan
ibadah hanya kepada Nya semata yang tidak ada sekutu bagi Nya, dan mereka tidak
menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa sedikitpun dalam berbagai hal. Mereka
itulah yang akan mendapatkan keamanan pada hari Qiamat dan mendapatkan petunjuk
di dunia dan akhirat.”
Syekh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –hafizhalullah- mengatakan: Firman Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa (Wahum Muhtaduun; dan merekalah orang-orang yang
mendapatkan hidayah) maksudnya di dunia, (mendapatkan hidayah) menuju syari’at
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dengan ilmu dan amal. Mendapat hidayah dengan ilmu
adalah hidayah irsyaad, sedangkan mendapat hidayah dengan amal adalah hidayah
taufiq. Mereka juga mendapatkan hidayah di akhirat menuju surga. Hidayah di
akhirat ini, untuk orang-orang yang zhalim (mereka mendapatkan hidayah) jalan
menuju neraka jahim, sebaliknya untuk orang-orang yang tidak zhalim mendapat
hidayah jalan menuju surga (yang penuh kenikmatan). Banyak diantara ulama
tafsir yang mengatakan tentang firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa (أُولَئِكَ
لَهُمُ الأَْمْنُ)
mereka adalah orang-orang yang mendapatkan rasa aman: Rasa aman itu di akhirat
sedangkan hidayah itu di dunia. Pendapat yang lebih tepat bahwa rasa aman dan
hidayah itu bersifat umum, baik di dunia maupun di akhirat.”
Ketika
ayat ini turun dirasakan berat oleh para sahabat -radliyallaahu 'anhum-. Mereka
mengatakan: “Siapakah diantara kita yang tidak menzholimi dirinya sendiri ?”
Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menjelaskan: “Maksud ayat
tersebut bukan seperti yang kalian kira, yang dimaksud zholim dalam ayat
tersebut adalah syirik, tidakkah kalian mendengar perkataan lelaki yang sholeh,
Luqman:
إن
الشرك لظلم عظيم
“Sesungguhnya
syirik adalah kezhaliman yang sangat besar.” (QS Luqman: 13)
Ada
beberapa jenis zholim:
1) Zholim
yang paling besar yaitu syirik dalam hak Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.
2) Zholim
yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri, dengan tidak memberikan
haknya, seperti orang yang berpuasa dan tidak berbuka, orang yang shalat malam
terus dan tidak tidur.
3) Zholim
yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, misalnya memukul, membunuh,
mengambil harta dan lain-lain.
Jika
tidak ada kezholiman maka akan terwujud keamanan. Namun apakah keamanan yang
smepurna ?
Jawabannya:
jika imannya sempurna dan tidak dicampuri ma’shiyat maka akan terwujud rasa
aman yang mutlak (sempurna), jika iamnnya tidak sempurna maka yang akan
terwujud adalah rasa aman yang kurang juga.
Contohnya:
Orang yang melakukan dosa besar. Ia akan aman dari ancaman tinggal kekal di
neraka, tetapi tidak aman dari adzab yang akan menimpa dirinya, tergantung
kehendak Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa (apakah diampuni atau di adzab?). Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:
إن الله لا يغفر أن يشرك به
ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء
Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia
mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
(QS An Nisaa` ayat 116)
Ayat
ini (QS Luqman ayat 13) Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa nyatakan sebagai pemutus
antara Nabi Ibrahim 'alaihis salaam dengan kaumnya ketika beliau mengatakan
kepada mereka:
وكيف أخاف ما أشركتم ولا تخافون أنكم
أشركتم بالله ما لم ينزل به عليكم سلطانا فأي الفريقين أحق بالأمن إن كنتم تعلمون
Bagaimana
aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah),
padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang
Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka
manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari
malapetaka), jika kamu mengetahui?” (QS Al An’am: 81)
Kemudian
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:
الَّذِينَ
ءامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأَْمْنُ
وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al An’aam ayat 82)
الشرك
SYIRIK
Pembatal ke-Islaman seseorang yang
paling besar adalah syirik kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Oleh karena itu
kita temukan dalam al Qur`an Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa mengingatkan kita
(agar menjauhkan) syirik, orang-orang yang melakukan syirik dan akibat yang
akan mereka rasakan, dalam banyak ayat. Lafadz syirik dan bentukannya
disebutkan berulang-ulang dalam al Qur`an lebih dari 160 kali. Demikian juga
dalam sunnah, kita temukan sangat banyak hadits-hadits Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam yang menjelaskan bahayanya.
PENGERTIAN
SYIRIK
Menurut
bahasa: Syirik adalah sebuah kata yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu
yang terjadi antara dua orang atau lebih.
Menurut
istilah syar’i: Syirik kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa maksudnya menjadikan
sekutu bagi Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, baik dalam rububiyahnya ataupun
uluhiyahnya, tetapi istilah syirik lebih sering digunakan untuk syirik dalam
uluhiyahnya.
Atau:
menyamakan selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dengan Allah Subhaanahu Wa
Ta'aalaa dalam hal-hal yang menjadi hak Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.
HUKUM
SYIRIK
Syirik adalah larangan Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa yang paling besar. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
berfirman dalam surat An Nisaa` ayat 36:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ
وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Dan
sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Syirik
juga merupakan perbuatan haram yang pertama (harus ditinggalkan). Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman dalam surat Al An’aam ayat 151:
قُلْ تَعَالَوْا
أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ
بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Katakanlah:
“Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu
yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).”
PENGGUNAKAN
KATA SYIRIK
Jika anda mendapat istilah syirik
dalam buku aqidah maka maksudnya bisa berarti syirik akbar atau syirik ashghar.
Maka anda jangan menghina orang-orang yang mendakwahkan tauhid bahwa mereka
selalu menghukumi segala sesuatu dengan syirik. Fahamilah setiap ungkapan pada
tempatnya yang tepat.
Oleh karena itu anda perlu
mengetahui bahwa syirik dalam pengertian syar’I digunakan untuk tiga makna:
1. Meyakini
ada sekutu bagi Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam kekuasaan, rububiyah,
mencipta, memberi rizqi dan mengatur alam. Siapa yang meyakini bahwa ada orang
yang mengatur alam ini dan mengatur seluruh urusannya, maka ia telah
menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam rububiyah dan telah kafir
kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Dalil-dalil (argumen-argumen) yang
menunjukkan bathilnya keyakinan akan adanya dzat lain selain Allah Subhaanahu
Wa Ta'aalaa yang memiliki hak rububiyah sangat banyak dan begitu jelas, baik
dalil yang bisa kita saksikan dari alam ini maupun dalil sam’i (al Qur`an dan
as Sunnah). Diantaranya firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam surat Saba`
ayat 22:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَوَاتِ وَلاَ فِي
الأَْرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ
Katakanlah:
“Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak
mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak
ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya”.
Syirik
jenis ini tidak terjadi pada semua orang kafir di zaman Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam. Sebagian mereka meyakini bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
adalah pencipta dan pengatur alam. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَْرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Dan
sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit
dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab:
“Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS
Al Ankabut: 61)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ
السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الأَْرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ
اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
“Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan
air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?"
Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji
bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya).” (QS Al
Ankabut: 63)
2. Meyakini
adanya dzat selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa yang bisa memberikan manfaat
atau madlarat, dzat ini merupakan perantara antara Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
dan makhluq, maka sebagian jenis ibadah ditujukan padanya. Inilah yang
dinamakan syirik dalam uluhiyyah. Syirik inilah yang banyak dilakukan oleh
orang-orang kafir Quraisy. Mereka mengatakan tentang sembahan mereka
مَا
نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
(mereka
berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS Az Zumar: 3)
Inilah
keyakinan yang tersebar di kalangan mereka, sebagaimana friman Allah Subhaanahu
Wa Ta'aalaa dalam surat Ghafir ayat 12:
ذَلِكُمْ
بِأَنَّهُ إِذَا دُعِيَ اللَّهُ وَحْدَهُ كَفَرْتُمْ وَإِنْ يُشْرَكْ بِهِ
تُؤْمِنُوا فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ
“Yang
demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja yang disembah. Dan
kamu percaya apabila Allah dipersekutukan, maka putusan (sekarang ini) adalah
pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa menceritakan keadaan mereka dalam surat Shaad: 4-5
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ
مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ () أَجَعَلَ الآْلِهَةَ
إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Dan
mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari
kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: "Ini adalah seorang ahli
sihir yang banyak berdusta”. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang
satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.
Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa menceritakan bahwa tauhid kepada Allah Subhaanahu Wa
Ta'aalaa dan meninggalkan syirik adalah sebab diutusnya para rasul. Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman dalam surat Ar Ra`d ayat 36:
قُلْ
إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو
وَإِلَيْهِ مَآبِ
“Katakanlah:
“Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak
mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan
hanya kepada-Nya aku kembali”.
Syirik
akan merusak dan menghapus semua amal dan hal ini berlaku pada seluruh umat.
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman dalam surat Az Zumar ayat 65:
وَلَقَدْ
أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan
sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu:
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”
Oleh
karena itu Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa memerintahkan (hamba-hamba Nya) untuk
beribadah kepada Nya dan melarang menyekutukan (syirik kepada) Nya dalam banyak
ayat:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ
وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Dan
sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS
An Nisaa` ayat 36)
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, (QS An Nahl ayat 36)
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي
ءَادَمَ أَنْ لاَ تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ()
وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
“Bukankah
Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah
syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”. dan
hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS Yasiin ayat 60-61)
3. Mempertimbangkan
(dapat perhatian, pujian dan lain-lain) dari selain Allah Subhaanahu Wa
Ta'aalaa dalam perkataan maupun perbuatan. Adapun mempertimbangkan perhatian
atau pujian dalam perbuatan seperti riya yang dilakukan oleh orang yang rajin
ibadah, misalnya ketika shalat, ia panjangkan berdiri, ruku’ dan sujudnya
kemudian ia tampakkan kekhusyu’annya di hadapan orang banyak, ketika ia puasa,
ia tampakkan bahwa dirinya sedang puasa, misalnya dengan mengatakan: “Apa anda
tidak tahu bahwa hari ini Senin (atau Kamis) ?” “Apa anda tidak puasa ?” Atau
ia katakan: “Hari ini saya undang anda untuk berbuka puasa bersama ?” Demikian
pula haji dan jihad. Ia pergi haji dan jihad tetapi tujuannya riya`.
Riyanya
orang-orang yang cinta dunia seperti orang yang angkuh dan sombong ketika
berjalan, memalingkan mukanya atau menggerakkan kendaraannya dengan gerakan
khusus.
Riya`
dengan teman atau orang yang berkunjung ke rumahnya, seperti orang yang
memaksakan diri meminta seorang ‘alim atau seorang yang dikenal ahli ibadah
untuk datang ke rumahnya agar dikatakan bahwa fulan telah mengunjungi rumahnya,
atau sebaliknya ia kunjungi mereka (orang-orang ‘alim dan ahli ibadah) agar
dikatakan bahwa kami telah mengunjungi fulan atau kami telah bertemu dengan
‘alim fulan dan yang lainnya.
Sedang
riya dengan perkata yang dilakukan oleh orang-orang ahli agama seperti orang
yang memberikan nasehat di majlis-majlis, kemudian ia menghafal hadits-hadits
dan atsar-atsar khusus untuk acara-acara tertentu agar bisa berbicara dan debat
dengan orang-orang, sehingga tampak di hadapan mereka bahwa ia memiliki
pengetahuan tentang hal-hal tersebut, tampak di hadapan mereka bahwa ia
memiliki ilmu yang kuat dan perhatian yang besar terhadap keadaan ulama-ulama
salaf, tetapi ketika kita lihat di rumahnya bersama keluarganya, ia adalah
orang jauh dari keadaan tersebut. Contoh lain adalah menggerak-gerakkan kedua
bibir untuk berdzikir di hadapan orang banyak dan menampakkan kemarahan
terhadap kemunkaran di hadapan orang, tetapi ketika ia berada di rumah ia tidak
mengingkari atau lalai melakukan hal tersebut.
Semua
perbuatan ini mengurangi kesempurnaan tauhid dan ikhlas.
Sangat
banyak dalil-dalil yang menunjukkan tercelanya perbuatan ini, diantaranya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id al Khudri, ia berkata:
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ألا أخبركم بما هو أخوف عليكم عندي من
المسيح الدجال ؟ قال: قلنا: بلى, قال: الشرك الخفي أن يقوم الرجل يصلي فيزين صلاته
لما يرى من نظر رجل.
“Maukah
kalian saya beritahu tentang perbuatan yang bagi saya itu lebih saya takuti
daripada Al Masih Ad Dajjal? Kami katakan: Ya,” Ia berkata: “Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Syirik khafiyy (yang tersembunyi)
yaitu seseorang mengerjakan shalat kemudian ia perbaiki shalatnya karena ia
mengetahui ada orang yang melihatnya.” (Menurut Syaikh Al Albani rahimahullah
hadits ini hasan. Shahih Sunan Ibni Majah 2/310 hadits no 3389).
Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
من سمع سمع الله به ومن راءى راءى الله به
“Siapa yang memperdengarkan amalnya maka Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa akan memperdengarkan (aibnya) dan siapa yang riya` maka
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa akan akan menampakkan (aibnya pada hari Qiamat.”
MACAM-MACAM
SYIRIK
Para
ulama berbeda pendapat dalam mengungkapkan pembagian syirik meski intinya tidak
terlepas dari tiga penggunaan kata syirik yang telah dibahas di atas. Namun
pembagian yang merangkum semuanya bisa kita katakan bahwa syirik terbagi
menjadi dua:
1. Syirik
Akbar.
Syirik
ini terbagi menjadi dua:
1) Syirik
yang berkaitan dengan dzat Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa atau syirik dalam
rububiyah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Syirik ini terbagi lagi menjadi dua:
(1) Syirik
dalam ta’thil, seperti syirik yang dilakukan oleh Fir’aun dan orang-orang
atheis.
(2) Syirik
yang dilakukan oleh orang yang menjadikan sembahan lain selain Allah Subhaanahu
Wa Ta'aalaa tetapi tidak menafikan asma (nama-nama), sifat-sifat dan rububiyah
Nya, seperti syirik yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yang menjadikan
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa sebagai salah satu dari tiga Tuhan (trinitas).
2) Syirik
yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa atau syirik
dalam uluhiyyah. Syirik ini ada empat jenis:
(1) Syirik
dalam berdo’a; yaitu berdo’a kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.
(2) Syirik
dalam niat, keinginan dan kehendak. Beramal karena ditujukan kepada selain
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa menyebabkan pahalanya hilang.
(3) Syirik
dalam keta’atan; yaitu seorang hamba taat kepada makhluk dalam perbuatan
ma’shiyat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.
(4) Syirik
dalam mahabbah; yaitu seorang hamba mencintai makhluk seperti cintanya kepada
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.
2. Syirik
Ashghar.
Syirik
Ashghar terbagi menjadi dua:
1) Yang
Zhahir (tampak);
- mengerjakan
amal dengan riya`. Melakukan perbuatan untuk selain Allah Subhaanahu Wa
Ta'aalaa yang zhahir (tampak)nya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, tetapi
dalam hatinya tidak ikhlas karena Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.
- dengan
ucapan, seperti bersumpah dengan selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa,
perkataan: Ma Syaa Allah wa Syi`ta.
2) Yang
Khafiyy (samar);
Yaitu
sesuatu yang kadang-kadang, terjadi dalam perkataan atau perbuatan manusia
tanpa ia sadari bahwa itu adalah syirik. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas -radliyallaahu 'anhuma- bahwa Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الشرك
فى أمتي أخفى من دبيب النمل على الصفا
“Syirik
bagi umatku lebih halus (samar) dari pada barjalannya semut di atas batu yang
licin (hitam).” (Hadits ini dishahihkan oleh Syekh Al Albani dalam Shahih Al
Jami’ Ash Shaghir, hadits no 3730 dan 3731)
Karena
begitu halusnya syirik ini sehingga para sahabat bertanya pada Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam bagaimana caranya terhindar dari syirik ini?
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: Katakanlah (Bacalah) oleh
kalian semua
اللهم إنا نعوذبك من أن نشرك
بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا نعلمه
“Ya
Allah, kami berlindung kepada Mu dari perbuatan (kami) menyekutukan Mu dengan
sesuatu yang kami ketahui dan kami memohon ampunan kepada Mu dari sesuatu yang
tidak kami ketahui.” (HR Imam Ahmad 4/403 dan Ath Thabrani dalam Mu’jam Kabir
dan Ausathnya sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami 10/223-224. Al Haitsami
mengatakan: Rawi-rawinya Imam Ahmad adalah rawi-rawi shahih selain Abu Ali dan
ia dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban).
(Disarikan dari buku Syarh Nawaqidhit tauhiid, tulisan
Syekh Abu Usamah Hasan bin Ali Al ‘Awaji, Maktabatul Liinah, cet pertama,
1993-1413)